Di
jaman modern ini, terjadi perubahan-perubahan di setiap aspek kehidupan sebagai
akibat dari arus globalisasi. Perubahan ini pun berpengaruh pula pada tatanan
nilai kehidupan sosial dan masyarakat Indonesia. Pergeseran nilai-nilai sosial
dan masyarakat yang terjadi di Indonesia ditandai dengan merosotnya moral
masyarakat. Contoh konkrit dari pergeseran nilai-nilai ini dapat dilihat dari semakin
banyaknya penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki dan
pemaksaan kehendak para penyelenggara negara tanpa memperhatikan kepentingan
masyarakat secara umum. Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami sakit
yang sudah akut. Kekerasan merajalela, disintegrasi sosial tumbuh secara nyata,
intoleransi semakin merebak dalam berbagai aspek kehidupan, korupsi dilakukan
secara terang-terangan dan tidak punya rasa malu. Bahkan arogansi kekuasaan,
kekayaan, dan arogansi intelektual juga sedang terjadi (Mochtar Buchori dalam
Suyanto, 2006).
Pergeseran
nilai-nilai sosial dan masyarakat tidak hanya terjadi pada penyelenggara negara
tetapi juga sebagian besar masyarakat Indonesia dengan tidak memperhatikan lagi
norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku. Tingginya tingkat kekerasan,
kriminalitas, dan tindak asusila di kalangan masyarakat menjadi bukti nyata
bahwa nilai-nilai yang berlaku di masyarakat telah bergeser. Selain hal-hal di
atas, pergeseran nilai yang sangat mencolok adalah merosotnya rasa malu dalam
diri masyarakat saat melakukan kesalahan. Setiap kesalahan dianggap wajar
karena merupakan bagian dari proses pendewasaan.
Sesuatu yang sangat
disayangkan dari pergeseran nilai ini adalah kenyataan bahwa pergeseran nilai
ini juga terjadi pada anak-anak dan remaja di usia sekolah. Anak-anak dan
remaja ini notabene adalah generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu
meneruskan perjuangan untuk memajukan bangsa. Remaja sendiri merupakan seorang
anak yang bisa dibilang berada pada usia tanggung, mereka tidak dapat dianggap
sebagai anak kecil yang tidak mengerti apa-apa, tapi juga belum dapat dikatakan
sebagai orang dewasa yang bisa dengan mudah akan membedakan hal mana yang baik
dan mana yang berakibat buruk. Pada masa remaja, seseorang
cenderung suka untuk mencoba hal-hal baru. Mereka senang untuk mengikuti trend
masa kini agar tidak dianggap kuno atau kurang pergaulan.
Akibat dari pergeseran
nilai yang sering terjadi pada remaja adalah munculnya perilaku-perilaku yang
menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Perilaku ini seringkali
disebut sebagai kenakalan remaja. Kenakalan-kenakalan remaja yang terjadi saat
ini tidak hanya terjadi di luar lingkungan sekolah tetapi dalam lingkungan
sekolah. Sekolah merupakan tempat pendidikan. Fungsi pendidikan adalah
perubahan tingkah laku dari seseorang sesuai yang diharapkan. Perubahan tingkah
laku yang diharapakan dari proses pendidikan tentunya perubahan ke arah positif
bukan perubahan ke arah negatif. Sehingga, sangat ironis bila di sekolah tempat
berlangsungnya pendidikan masih banyak kenakalan-kenakalan remaja terjadi.
Apalagi kenakalan tersebut terjadi di dalam kelas saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung. Dapat dibayangkan bagaimana perilaku remaja tersebut kelak saat
dewasa bila saat remaja telah banyak kenakalan yang dilakukan terutama
kenakalan di dalam kelas.
Remaja
Batas usia pasti untuk
mengatakan bahwa seseorang berada dalam masa remaja belum disepakati dengan
jelas. Ada beberapa pendapat berbeda yang menjelaskan batasan usia remaja.
Menurut Powel, masa remaja digolongkan: “pre
adolescence, from ten to twelve years; early adolescence, from thirtheen to
sixteen years, and late adolescence from seventeen to twenty one years”.
Luella Cole menyebutkan masa adolescence dan membagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu “early adolescence 13 to 15 years,
middle adolescence 16 to 18 years, late adolescence 19 to 21 years”. Dari
kedua pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa usia remaja antara 10
sampai 21 tahun dan dibagi menjadi tingkatan, yaitu remaja awal, remaja, dan
remaja akhir. ( Y. Bambang Mulyono, 1984: 15)
Seseorang dikatakan
telah memasuki masa remaja apabila terjadi perubahan secara fisik dan mengalami
kematangan secara seksual. Untuk remaja laki-laki perubahan ini ditandai dengan
a) pengeluaran sperma, b) menegangnya alat kelamin pada saat tertentu, c) suara
membesar, dan d) tumbuh rambit pada bagian tertentu. Sedangkan pada remaja
putri, perubahan ini ditandai dengan a) loncatan sel telur (ovulasi), b)
menstruasi, dan c) berkembanganya buah dada.
Pola-pola Tingkah Laku pada Masa Remaja
Masa remaja merupakan
masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada usia remaja seseorang
sudah tidak bisa dianggap sebagai anak-anak yang belum mengerti banyak hal.
Tetapi di sisi lain, usia remaja juga tidak dapat dianggap telah dewasa yang
sudah dapat membedakan hal baik atau buruk. Pada masa ini, terjadi goncangan
dalam diri seseorang dimana mereka cenderung melakukan perlawanan sehingga
tidak jarang menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat. Akan
tetapi disisi lain, remaja sangat membutuhkan perhatian, pengertian, dan kasih
sayang yang cukup dari orang tua dan masyarakat di sekelilingnya agar remaja
tersebut merasa aman dan nyaman.
Seseorang yang telah
memasuki masa remaja cenderung lebih suka bergaul dengan teman-teman seusianya
di luar rumah daripada berdiam diri rumah. Remaja berusaha untuk menemukan identitas
dirinya melalui kelompok masyarakat yang diikutinya. Mereka cenderung kritis
dalam menghadapi suatu hal dan berusaha memahami sebab-akibat dari suatu hal
yang sedang terjadi di masyarakat. Sikap kritis remaja ini dapat menimbulkan
konflik atau pertentangan antara dirinya dengan orang tua atau orang-orang
disekitarnya.
Pada usia remaja,
emosi yang dimiliki cenderung labil. Perasaan gelisah, mudah tersinggung, kesal
hati, tertekan, dan ingin marah adalah perasaan yang sering dimiliki remaja.
Seorang remaja memiliki semangat membara untuk mencari pengalaman-pengalaman
baru. Seorang remaja juga meminta pengakuan bahwa dirinya adalah bagian dari
masyarakat dan ingin dilibatkan dalam pengambilan suatu keputusan. Sehingga,
celaan dan kritikan yang ditujukan padanya selalu ditanggapi sungguh-sungguh
dan menimbulkan perlawanan. Celaan dan kritik yang berlebih terhadap remaja
dapat menyebabkan remaja tersebut kehilangan kepercayaandirinya dan pada
akhirnya menarik diri dari lingkungan.
Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja
merupakan perbuatan anak-anak yang melanggar norma sosial, norma hukum, norma
kelompok dan mengganggu ketrentaman kelompok. Perilaku tersebut akan merugikan
dirinya sendiri dan orang-orang sekitarnya. Kartono (ilmuan sosiologi)
mengemukakan bahwa kenakalan remaja atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan
isltilah Juvenule delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja
yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mengembangkan
bentuk perilaku menyimpang.
Pada dasarnya, istilah
perilaku menyimpang ini hampir sama dengan istilah tindak kriminal. Bedanya,
istilah tindak kriminal dipakai untuk orang yang sudah dianggap dewasa. Orang
dewasa dianggap sudah memahami arti sebuah tanggung jawab pribadi dan sosial.
Sehingga perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan dan dipikirkan
secara matang. Sedangkan remaja dianggap sebagai seseorang yang belum matang
dan sedang mencari identitas dirinya serta sedang mengalami perkembangan secara
fisik maupun psikis. Sehingga, perilaku menyimpang yang dilakukan remaja dapat
dimaklumi dan diterima begitu saja.
Bentuk-bentuk
kenakalan remaja antara lain sebagai berikut.
Ø Kenakalan
dalam keluarga
Remaja yang labil
umumnya rawan sekali melakukan hal-hal yang negatif. Orang tua harus mengontrol
dan mengawasi putra-putri mereka dengan melarang hal-hal tertentu.Namun, bagi
sebagian anak remaja, larangan-larangan tersebut malah dianggap hal yang buruk
dan mengekang mereka. Akibatnya, mereka akan memberontak dengan banyak cara.
Tidak menghormati, berbicara kasar pada orang tua, atau mengabaikan perkataan
orang tua adalah contoh kenakalan remaja dalam keluarga.
Ø Kenakalan
dalam pergaulan
Dampak kenakalan
remaja yang paling nampak adalah dalam hal pergaulan. Sampai saat ini, masih
banyak para remaja yang terjebak dalam pergaulan yang tidak baik. Mulai dari
pemakaian obat-obatan terlarang sampai seks bebas.Menyeret remaja pada sebuah
pergaulan buruk memang relatif mudah, dimana remaja sangat mudah dipengaruhi
oleh hal-hal negatif yang menawarkan kenyamanan semu. Akibat pergaulan bebas
inilah remaja, bahkan keluarganya, harus menanggung beban yang cukup berat.
Ø Kenakalan
dalam pendidikan
Kenakalan dalam
bidang pendidikan memang sudah umum terjadi, namun tidak semua remaja yang
nakal dalam hal pendidikan akan menjadi sosok yang berkepribadian buruk, karena
mereka masih cukup mudah untuk diarahkan pada hal yang benar. Kenakalan dalam
hal pendidikan misalnya, membolos sekolah, tidak mau mendengarkan guru, tidur
dalam kelas, mencontek, dll.
Dampak kenakalan
remaja pasti akan berimbas pada remaja tersebut. Bila tidak segera ditangani,
ia akan tumbuh menjadi sosok yang bekepribadian buruk. Remaja yang melakukan
kenakalan-kenakalan tertentu pastinya akan dihindari atau malah dikucilkan oleh
banyak orang. Remaja tersebut hanya akan dianggap sebagai pengganggu dan orang
yang tidak berguna. Akibat dari dikucilkannya ia dari pergaulan sekitar, remaja
tersebut bisa mengalami gangguan kejiwaan. Yang dimaksud gangguan kejiwaan
bukan berarti gila, tapi ia akan merasa terkucilkan dalam hal sosialisai,
merasa sangat sedih, atau malah akan membenci orang-orang sekitarnya.
Dampak kenakalan
remaja yang terjadi, tak sedikit keluarga yang harus menanggung malu. Hal ini
tentu sangat merugikan, dan biasanya anak remaja yang sudah terjebak kenakalan
remaja tidak akan menyadari tentang beban keluarganya. Masa depan yang suram
dan tidak menentu bisa menunggu para remaja yang melakukan kenakalan. Bayangkan
bila ada seorang remaja yang kemudian terpengaruh pergaulan bebas, hampir bisa
dipastikan dia tidak akan memiliki masa depan cerah. Hidupnya akan hancur
perlahan dan tidak sempat memperbaikinya.
Kriminalitas bisa
menjadi salah satu dampak kenakalan. Remaja yang terjebak hal-hal negatif bukan
tidak mungkin akan memiliki keberanian untuk melakukan tindak kriminal. Mencuri
demi uang atau merampok untuk mendapatkan barang berharga.
Kenakalan Remaja dalam Kegiatan
Pembelajaran
Seperti yang telah
diungkapkan di atas, kenakalan-kenalan remaja yang sering terjadi di sekolah
atau di kelas antara lain membolos sekolah, tidak mau mendengarkan guru, tidur
dalam kelas, dan mencontek. Kenakalan-kenalakan tersebut sangat mengganggu baik
bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Bagi orang lain, kenakalan yang
dilakukan sangat menggangu kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung.
Sedangkan bagi dirinya, kenakalan tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam
menempuh suatu jenjang pendidikan. Namun gaknya, anggapan bahwa kenakalan
remaja menghambat keberhasilannya dalam menempuh pendidikan sudah hilang.
Kenyataannya beberapa anak yang melakukan kenakalan-kenakalan di sekolah tetapi
masih memiliki prestasi yang gemilang di sekolahnya.
Mata pelajaran fisika
merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sebagai momok bagi sebagian
besar siswa. Fisika hanya berisi rumus, hukum, dan postulat yang terkadang
sulit dimengerti oleh siswa. Tidak sedikit siswa yang gagal pada mata pelajaran
ini. Sehingga, mereka berusaha melakukan kecurangan saat ujian agar dapat
dinyatakan lulus. Kecurangan tersebut dilakukan dengan mencontek. Mencontek
saat ulangan, baik ulangan harian maupun ujian nasional merupakan kenakalan
yang sangat memprihatinkan dan sering terjadi di kalangan remaja adalah.
Mencontek bukan lagi
dianggap sebagai suatu hal yang tabu, bagi remaja mencontek menjadi sebuah
keharusan. Tindakan mencontek tidak lagi dilakukan seorang siswa secara
diam-diam tetapi dilakukan oleh sekelompok siswa dengan koordinasi yang baik
dan rapi. Sehingga, guru tidak menyadari tindakan tersebut. Tidak sedikit siswa
yang memaksa dan mengancam temannya untuk memberikan contekan. Siswa yang tidak
mencontek atau memberi contekan akan dijauhi oleh teman-temannya. Celaan “sok
pinter”, “sok bisa”, “sok suci” dan celaan lain akan meluncur dari mulut remaja
dan ditujukan pada temannya yang menolak untuk mencontek atau dimintai
contekan.
Praktik mencontek ini
tidak lagi hanya dilakukan dengan mencontek pekerjaan temannya tetapi dengan
cara-cara lain yang dianggap sangat aman baginya. Misalnya, menuliskan
materi-materi yang diperkirakan akan keluar saat ujian pada selembar kertas
kecil dengan tulisan yang tidak kalah kecil atau memotret catatannya sehingga
dapat dibuka lagi ketika ujian. Pada mata pelajaran fisika, cara ini sangat
sering dipakai siswa mengingat rumus-rumus yang cukup banyak dalam setiap
materi yang diberikan. Dengan kemajuan teknologi, mencontek dapat dilakukan
dengan browsing jawaban di Google atau berdiskusi melalui grup diskusi disalah
satu jejaring sosial di dunia maya. Dengan berdalih menggunakan fitur
kalkulator dari handphone mereka, siswa mengakses internet melalui handphone
dengan aman tanpa dicurigai guru.
Sebenarnya mencontek
merupakan sebuah kecurangan yang tidak dapat ditolerir. Mencontek, secara
disadari maupun tidak, telah mengikis nilai-nilai kejujuran dalam diri remaja.
Remaja telah membohongi dirinya, gurunya, orang tuanya dan orang-orang di
sekitarnya. Seorang teman penulis pernah berkata,” Untuk apa bangga dengan
nilai bagus, la wong ulangan saya itu
hasil mencontek”. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya siswa
sadar bahwa mencontek bukan perbuatan baik.
Pada kasus lain, ditemui
seorang siswa yang belum puas dengan nilai yang diperolehnya dengan memprotes
cara guru menilai. Padahal saat ujian, siswa tersebut hanya mencontek. Dengan
penuh percaya diri, dia membawa kertas ulangannya dan kertas ulangan temannya
sebagai pembanding. Dari kasus tersebut, mencontek tdak hanya mengikis nilai
kejujuran tetapi juga mengikis budaya malu dalam diri siswa. Bahkan, siswa
dengan gamblang dan bangga mengaku mencontek saat ujian. Budaya jujur dan malu
telah banyak ditinggalkan oleh remaja saat ini. Padahal, budaya jujur dan malu
merupakan bekal penting yang harus dimiliki setiap individu agar mampu bersaing
di dunia luar.
Perbuatan mencontek
yang telah membudaya dewasa ini, tidak murni kesalahan siswa dalam hal ini
remaja yang melakukan tetapi juga pada guru. Dapat dikatakan demikian karena
berdasarkan pengalaman yang dialami penulis selama mengikuti jenjang pendidikan
dari sekolah dasar hingga di bangku kuliah, tidak sedikit guru yang membiarkan
siswanya melakukan kecurangan saat ulangan. Dengan jelas, seorang guru
meninggalkan ruangan saat ujian untuk membiarkan siswanya mencontek jawaban
temannya. Walaupun guru memberikan teguran, teguran tersebut hanya sebatas
peringatan yang seringkali tidak digubris oleh siswa. berdasarkan pengalaman
penulis, masih ada guru yang dengan tegas meminta lembar jawaban dari dua orang
siswa yang mencontek.
Apabila perbuatan
mencontek dapat ditolerir, maka siswa akan menganggap bahwa kecurangan dapat
dimaafkan. Lalu, apa yang akan dilakukan siswa kelak saat dia dewasa? Bukankah
hal tersebut dapat menyebabkan perbuatan korupsi, menipu dan perilaku
menyimpang lain disamakan dengan mencontek yang dapat ditolerir. Padahal untuk
orang dewasa, perilaku menyimpang tersebut sudah dikategorikan sebagai tindak
kriminal yang dapat dituntut secara hukum.
Mengingat, di jaman
modern ini, segala sesuatu berjalan begitu cepat. Begitu juga dengan
perkembangan remaja. Remaja seharusnya sudah dianggap sebagai pribadi yang
cukup tahu mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya. Jelas perbuatan
mencontek bukanlah perbuatan yang baik. Sehingga, perlu diberikan sebuah
hukuman bagi pelaku mencontek ini agar kelak siswa tidak mengulangi perbuatan
ini. Kenyataannya, hukuman sekarang ini bukan menjadi sesuatu yang menakutkan
bagi siswa. Hukuman bagi siswa adalah sesuatu yang perlu dijalani tanpa perlu
dimaknai. Apalagi apabila hukuman itu dijalani bersama siswa lain yang senasib.
Mereka mengganggap hal tersebut bukan sesuatu yang memalukan karena bukan hanya
dirinya yang mengalami hal tersebut.
Upaya Mengatasi Kenakalan Remaja
Tingginya kasus
mencontek di kalangan siswa memang sangat meresahkan masyarakat mengingat siswa
merupakan harap untuk meneruskan cita-cita bangsa. Untuk itu, budaya mencontek
di kalangan siswa harus dapat diatasi sedini mungkin. Tidak dapat dipungkiri
bahwa mengatasi perbuatan mencontek bukan suatu perkara mudah karena berkaitan
dengan kesadaran diri siswa.
Untuk mengatasi
keadaan yang demikian, banyak yang mengusulkan dikembalikannya lagi pendidikan
budi pekerti dengan memasukkannya sebagai salah satu mata pelajaran seperti
pernah terjadi dalam sejarah kurikulumnasional pada 1947 ( Koesoema, 2009).
Pada dasarnya, pendidikan budi pekerti untuk memasukkan nilai-nilai moral dan
nilai-nilai Pancasila sangat perlu diberikan kepada siswa. Menurut penulis,
pembelajaran karakter tersebut
sebenarnya sudah menjadi salah satu materi pada mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Lalu apakah yang terjadi? Materi itu hanya dianggap sebagai
salah satu materi yang perlu dihapal saat mendekati ulangan dan segera
dilupakan setelah ulangan selesai. Sementara itu, tidak ada perubahan sikap
yang terjadi pada siswa seperti yang diharapkan.
Pendidikan budi
pekerti atau karakter ini, menurut penulis, tidak perlu diberi melalui mata
pelajaran khusus akan tetapi dimasukkan secara implisit dalam setiap kegiatan
belajar-mengajar di sekolah. Di Indonesia, pendidikan karakter sedang
digalakkan oleh para pelaku pendidikan. Dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan (sumber :
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/05/artikel-pendidikan-konsep-pendidikan.html
).
Guru merupakan orang
yang turun turun langsung dalam mengelola mata pelajaran, mengatur proses
pembelajaran di kelas serta penilaiannya, dan melaksanakan aktivitas di
sekolah. Jadi jelas bahwa, guru berperan penting dalam pelaksanaan pendidikan karakter
di sekolah. Guru yang dimaksud disini tidak hanya guru mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dan guru Bimbingan dan Konseling tetapi seluruh guru
di sekolah dari kepala sekolah hingga guru olah raga. Dalam mata pelajaran
fisika pun, pendidikan karakter juga dapat disampaikan secara implisit dalam
setiap kegiatan pembelajaran yang berlangsung.
Dalam melaksanakan
pendidikan karakter, hal paling utama yang harus dilakukan adalah memperjelas
visi guru dalam melakukan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Seorang guru
harus benar-benar memahami visi yang dimilikinya sehingga mampu menjiwai
kinerjanya. Selain itu, perlu juga inspirasi yang dapat menjadi motivasi dan
arah pasti bagi kinerjanya.
Ditengah perkembangan
teknologi dan informasi, guru dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan dan
perubahan tersebut. Di samping itu, guru harus mampu memegang teguh nilai-nilai
sosial dan masyarakat agar tidak tergerus arus globalisasi yang semakin cepat.
Seperti halnya yang tertuang dalam sebaris lirik lagu ciptaan Sartono “Engkau
laksana embun penyejuk dalam kehausan”, guru seharusnya dapat membimbing siswanya
untuk menghindari perbuatan-perbuatan menyimpang.
Setelah guru mampu
memahami visi dan inspirasi dalam kinerjanya, hal kedua yang dapat dilakukan
adalah merancang kegiatan pembelajaran dengan memasukkan nilai-nilai sosial
tersebut secara implisit. Guru sebaiknya menyampaikan tujuan yang ingin dicapai
pada mata pelajarannya dan peraturan yang harus dipatuhi selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Peraturan yang dibuat guru, tidak hanya disampaikan
untuk didengar oleh siswa, tetapi juga dimengerti, dipahami, dan dilaksanakan
oleh siswa. Guru juga memberi siswa kesempatan untuk memberikan pendapat
mengenai peraturan yang dibuat guru. Sehingga, ada kesepakatan yang antara guru
dan siswa serta tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Hal terakhir dan
sangat penting yang harus dilakukan, baik oleh guru maupun siswa, adalah
menaati peraturan yang telah disepakati sebelumnya. Guru pun juga harus
menepati peraturan yang telah dibuat karena pada dasarnya pendidikan karakter
adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter
peserta didik. Apabila guru selalu menaati peraturan yang ada, siswa akan
merasa malu bila tidak menaati peraturan tersebut.
Untuk mencegah
perbuatan mencontek, guru seharusnya dapat lebih tegas dalam memberi peraturan
untuk mengikuti ulangan pada mata pelajaran yang diajarkannya. Misal dengan
memberikan hukuman dengan tegas bagi siswa yang mencontek. Guru dengan tegas
tidak mentolerir siswa yang telah mencontek. Guru memberikan reward kepada
siswa yang dengan berani dan jujur melaporkan tindak kecurangan yang dilakukan
temannya kepada guru. Sedangkan guru memberikan hukuman langsung kepada siswa
yang mencontek dengan mengambil kertas jawabannya dan menyuruh siswa tersebut
keluar dari kelas. Siswa yang mencontek diberi nilai nol untuk ulangan pertama.
Bila teman lain diberi kesempatan dua kali remidi untuk nilai jelek maka siswa
mencontek hanya diberi satu kali kesempatan remidi.
Dengan memberikan
reward kepada siswa yang melaporkan kecurangan ulangan ini, akan memupuk nilai
jujur dalam diri siswa. Mungkin pada awalnya, akan timbul keraguan dalam diri
siswa untuk melaporkan temannya, tetapi dengan reward yang menarik siswa akan dengan
senang hati melaporkan kecurangan yang terjadi. Apabila, tindakan ini dilakukan
terus-menerus selama pembelajaran berlangsung, maka perbuatan tersebut akan
menjadi kebiasaan baru bagi siswa.
Sedangkan memberikan
hukuman kepada siswa mencontek diharapkan dapat memberikan efek jera kepada
siswa. Sehingga, siswa memahami bahwa mencontek saat ulangan adalah perbuatan
yang tidak baik. Jenis hukuman yang diberikan kepada siswa mencontek ini perlu
dibedakan untuk setiap siswa agar siswa merasa malu karena telah mendapat
hukuman. Bila hukuman yang diberikan sama bagi semua siswa yang mencontek, maka
hukuman tersebut tidak lagi dapat memberi efek jera dan menimbulkan rasa malu
dalam diri siswa. Hal ini dikarenakan siswa merasa bahwa bukan hanya dia yang
mendapat dukungan dan berdalih “tidak masalah dihukum, banyak temannya”.
Hukuman yang diberikan
tidak sekedar meminta siswa keluar dari kelas. Tetapi hukuman lain di luar jam
pelajaran, misalnya menyapu halaman ada jam istrirahat, membersihkan toilet,
membersihkan taman, memotong rumput, lari keliling lapangan, membantu ibu
kantin, atau hukuman lain yang memberi manfaat lain bagi siswa. Hukuman-hukuman
seperti itu dapat membuat siswa merasa malu kepada temannya sehingga tidak
ingin mengulangi perbuatan tersebut. Bagi siswa lain, hukuman tersebut
memberikan pengertian bahwa perbuatan mencontek saat ulangan bukan perbuatan
baik dan menyebabkan dirinya merasa dipermalukan.
Untuk memberikan
hukuman tersebut, sebaiknya guru melihat karakter dari siswa. Diharapkan dengan
hukuman yang diberikan terdapat perubahan tingkah laku dalam diri siswa, bukan
muncul perasaan dendam kepada guru. Misalnya, untuk siswa putri hukuman yang
tepat adalah membersihkan taman atau membantu ibu kantin. Sedangkan hukuman
untuk siswa putra adalah lari keliling lapangan atau menyapu halaman sekolah.
Upaya mengatasi
kenakalan-kenakalan remaja memang telah banyak dilakukan oleh masyarakat
utamanya pelaku pendidikan. Tidak dipungkiri sulit untuk mengubah perilaku
menyimpang yang telah menjadi berubah menjadi sebuah kebiasaan. Akan tetapi,
remaja adalah sosok yang sedang mencari identitas diri. Sehingga, sebagai guru
hendaklah membimbing, mendampingi, mendorong, dan memfasilitasi remaja untuk
menemukan identitas diri yang tidak menyimpang dari nilai-nilai sosial dan
masyarakat. Apabila reward dan hukuman (punishmen) dirasa belum cukup untuk
mengatasi kenakalan remaja maka pendekatan secara personal perlu dilakukan oleh
guru. Karena seperti pada salah satu syair Himne Guru yang lain “Engkau sabagai
pelita dalam kegelapan”, guru dapat berperan sebagai orang tua, guru, saudara,
dan sahabat bagi remaja yang sedang dalam pencarian tersebut. (Lyta Perwitasari)
Referensi
Anakciremai.
2009. “Gejala Kenakalan Siswa Remaja Akhir-Akhir Ini Di Tinjau Dari Sosialogi
Pendidikan” dalam
http://www.anakciremai.com/2009/07/gejala-kenakalan-siswa-remaja-akhir_20.html,
diakses 19 Juni 2012.
Anneahira.
2011. “Akibat Kenakalan Remaja” dalam
http://belajarpsikologi.com/akibat-kenakalan-remaja/,
diakses 19 Juni 2012.
Ardiansyah,
Muhammad Asrori. 2012. “Artikel Pendidikan: Konsep Pendidikan Karakter” dalam
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/05/artikel-pendidikan-konsep-pendidikan.html,
diakses 21 Juni 2012.
Partowisastro,
H. Koestoer. 1983. Dinamika dalam
Psikologi Pendidikan. Jakarta: Erlangga.
Mulyono,
Y Bambang. 1984. Pendekatan Analisis
Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya. Yogyakarta:Kanisius.
Koesoema,
Doni. 2009. Pendidikan Karakter di Zaman
Keblinger. Jakarta: Grasindo.