Pada
jaman dahulu kala, dewa-dewi di kahyangan hidup layaknya manusia di bumi.
Mereka saudara dan bercocok tanam. Para dewa dan manusia hidup rukun dengan
damai. Para dewa sering turun ke bumi untuk memberi sebagian hasil panen mereka
kepada manusia. Begitu pula pada musim panen di bumi, manusia akan membuat
pesta dan mengundang para dewa untuk menikmati hasil panen mereka. Putra-putri
para dewa pun berteman baik dengan anak manusia. Mereka sering bermain bersama
di bumi saat hari cerah.
Di
sebuah desa kecil yang subur di bumi,
terdapat seorang anak saudagar kaya yang cantik jelita bernama Anika. Anika
adalah putri semata wayang saudagar tersebut. Ibunya telah meninggal sejak ia
masih kecil dan ayahnya sering berdagang di negeri-negeri yang jauh selama
berbulan-bulan. Anika sering merasa kesepian karena hanya ditemani pembantu
rumah tangga sehingga ia sering mengajak teman-temannya bermain di rumahnya dan
menghidangkan makanan-makanan enak. Selain itu, ia senang meminjamkan
mainan-mainan yang dimilikinya kepada teman-temannya. Mainan-mainan itu adalah
pemberian ayahnya setiap kali pulang berdagang di negeri Seberang. Oleh karena
itu, mainan-mainan Anika bagus dan jarang dimiliki anak lain di desanya
sehingga Anika banyak disukai teman-temannya. Akan tetapi, Anika mempunyai
sifat buruk yaitu suka membeda-bedakan teman. Dia hanya mau berteman dengan
sesama anak saudagar atau dengan putra-putri dewa kahyangan. Dia juga tidak suka dengan anak yang pemalu
karena dia mengangggap anak itu membosankan.
Suatu
hari, Dewa Elioth, Dewa Barma, Dewi Eida, dan Dewi Rea, datang berkunjung ke
rumah Anika. Keempat putra-putri Dewa tersebut ingin bermain dengannya di taman
bunga di halaman belakang rumah Anika. Di depan pintu, Dewa Barma mengetuk pintu rumah Anika.
Seorang pembantu rumah tangga paruh baya membuka pintu untuk keempat dewa
tersebut. Setelah Dewa Elioth menyampaikan maksud kedatangan mereka, si
pembantu rumah tangga mengantar keempat dewa menuju ke halaman belakang.
Dewi
Eida seorang dewi yang pemalu. Bagi Dewi Eida, ini adalah kunjungan pertamanya
ke rumah Anika. Ia sangat gugup dan sedikit takut. Dia sudah mendengar kabar
tentang sifat buruk anika. Kedatanganya ke rumah Anika ini pun karena bujukan
teman-temannya. Oleh karena itu, ia berjalan di samping Dewi Rea sambil
menggemgam erat tangan temannya itu.
Sesampainya
di halaman belakang, mereka melihat banyak anak saudagar berkumpul di sana. Si
pembantu mempersilakan keempat dewa tersebut bergabung dengan Anika dan
teman-temannya kemudian ia memohon diri untuk meneruskan pekerjaannya. Melihat
keempat tamunya yang masih berdiri di pintu belakang, Anika segera menghampiri
tamunya. Dengan senyum tulus di wajahnya, Anika menyapa tamunya,” Selamat pagi,
apa kabar semuanya?”
“Selamat
pagi Anika,” jawab Dewa Elioth,” Kami baik kamu apa kabar?”
“Anika
juga baik.” Ucap Anika.
“Anika,
boleh kami ikut main?” tanya Dewi Rea.
Anika
menoleh kepada Dewi Rea. Saat itulah matanya memandang Dewi Eida yang berdiri
menunduk di belakang Dewi Rea. Melihat pandangan mata Anika yang tertuju
langsung pada Dewi Eida, Dewa Barma segera berusaha mengalihkan perhatian dan
berkata, ”Perkenalkan, Dia adalah Dewi Eida, putri dari Dewa Angin. Dia baru
pertama berkunjang ke sini. Ah,,, sudahlah. Jadi, apakah kita boleh bergabung?”
Anika
menoleh pada Dewa Barma. Ia tersenyum. “Boleh kok, silakan saja kalau dewa-dewi
ingi bermain dengan Anika. Tapi...” ucap Anika. Ia menggantung kalimatnya
sambil menatap tajam pada Dewi Eida. Dewi Eida semakin gugup dan tidak berani
memandang mata Anika. “Tapi Dewi Eida tidak boleh ikut main.” Lanjut Anika
sambil tersenyum kepada Dewi Eida.
“Kenapa?
Dewi Eida adalah teman kita.” ucap Dewa Elioth.
“Iya,
Dewa Elioth benar. Dewi Eida adalah dewi yang sangat menyenangkan.” kata Dewi
Rea menyambung perkataan Dewa Elioth.
“Cobalah
sekali saja bermain dengan Dewi Rea, kau pasti menyukainya.” Ujar Dewa Barma.
“Aku
tidak mau.” ucap Anika ketus.
“Ya
sudah, kalau kamu tidak mengijinkan aku ikut main.” ucap Dewi Eida,”
Teman-teman aku pulang dulu, kalian bersenang-senanglah.”
Setelah
mengatakan itu, Dewi Eida berbalik dan berjalan meninggalkan ketiga temannya.
Ia menyusuri jalan yang tadi dilaluinya. Sang pembantu yang baik hati
membukakan pintu dan meminta maaf atas kesalah putri majikannya tersebut. Dewi
Aida mengiyakan kemudian pamit pulang.
Dewi
Eida terbang ke kahyangan seorang diri. Tiba-tiba ia meras sangat kesepian
dan merasa tidak memiliki teman. Ia sangat
sedih hingga tak dapat lagi menahan air mata yang ditahannya sejak ia berada di
rumah Anika. Ia tidak boleh menangis di depan Anika karena itu akan membuat
Anika senang. Begitu pikirnya.
Dewi
Eida tidak langsung pulang, ia bersembunyi di salah satu sudut taman kahyangan.
Tempat itu adalah tempat rahasianya dengan teman-temannya bila sedang bersedih.
Ia menangis sejadi-jadinya di tempat rahasianya itu. Kesedihan dan tangisan
Dewi Eida membuat awan-awan berubah menjadi gelap dan hujan di bumi. Saat sedang
menangis, ia mendengar sebuah suara yang memanggilnya dengan halus. Ia
menengadahkan wajahnya. Ia melihat ketiga temannya berdiri di depannya sambil
tersenyum.
“Sudah,
jangan menangis. Kami ada di sini bersamamu.” bujuk Dewa barma.
“Kenapa
kalian ada disini? Harusnya kalian berada di rumah Anika?” tanya Dewi Eida.
Dewi
Rea kembali tersenyum. Ia berjongkong dan memeluk Dewi Eida. Dewi Rea berkata,”
Bagaimana bisa kami bersenang-senang di rumah Anika sedang kau menangis
sendirian disini. Kita sudah seperti saudara jadi kami tidak akan membiarkan
kau sendirian.”
“Sudah
jangan menangis. Awan jadi gelap dan sekarang di bumi turun hujan karena
tangisanmu tahu.” ledek Dewa Barma. Dewi Eida tersenyum mendengar ledekan Dewa
Barma.
“Nah,
kalau tersenyum kan langit cerah. Sekarang ayo kita pulang sebelum bunda-bunda
kita marah.” ajak Dewa Elioth. Dewi Eida mengangguk. Kemudian Dewa Elioth dan
Dewa Barma membantu kedua dewi berdiri. Dewi Eida pulang ke rumah di antar
ketiga temannya.
Sesampainya
di rumah, Dewi Eida langsung permisi dan masuk kamar. Ia tidak ingin kedua
orangtuanya melihat wajahnya. Akan tetapi sudah terlambat, Ibunda Dewi Eida
melihatnya masuk kamar. Ibundanya segera menyusul tetapi Dewi Eida sudah
menutup pintu kamarnya. Ibunda Dewi Eida melongok keluar, dilihatnya ketiga
teman putrinya berada di luar. Beliau bergegas menghampiri ketiga dewa itu.
Beliau bertanya penyebab putrinya menangis kepada ketiga dewa itu. Dewa Elioth
menjelaskan kejadian di rumah Anika itu kepada ibunda Dewi Eida. Ibunda Dewi
Eida mengangguk-angguk mendengar cerita Dewa Elioth. Beliau berpesan kepada
ketiga dewa itu untuk menyembunyikan kejadian tersebut dari ayah Dewi Eida,
Dewa Angin, agar tidak terjadi bencana yang besar. Ketiga dewa itu berjanji
tidak cerita kepada siapapun kemudian berpamitan pulang.
Sejak
hari itu, sudah dua hari berlalu. Dewi Eida masih saja murung sehingga awan
menjadi gelap. Ketiga temannya setiap hari datang untuk menghibur Dewi Eida
tetapi Dewi Eida terus murung. Sikapnya selam dua hari ini berubah sangat
drastis. Ia tidak menanggapi ledekan Dewa Barma seperti biasanya, menolak
ajakan Dewi Rea untuk belajar menyulam dan mengiyakan semua nasehat Dewa
Elioth.
Ibunda
Dewi Eida sangat prihatin melihat kondisi putrinya. Beliau tidak tahu lagi
alasan apa yang harus dikatakan kepada Dewa Angin bila mengetahui putri
kesayanganya bersedih karena anak manusia menghinanya. Memang selama dua hari
ini Dewa Angin sedang bertugas di kahyangan sebelah timur.
Pada
hari kedua, Dewa Angin pulang ke rumahnya. Dewa Angin yang sudah sangat
merindukan putrinya segera menuju kamar Dewi Eida. Saat membuka pintu,
dilihatnya Dewi Eida sedang tiduran diranjangnya dengan malas. Matanya sembab
dan wajahnya terlihat murung. Dewa Angin sangat terkejut dan meninggalkan Dewi
Eida. Beliau menemui istrinya, ibunda Dewi Eida, berharap menemukan alasan
mengapa putrinya murung. Ketika bertanya, sang istri hanya terdiam, tak tahu
harus menjawab apa. Dewa Angin mulai marah karena pertanyaannyaa tidak kunjung
dijawab oleh sang istri. Dewa Angin berjalan keluar.
Dewa
Angin menuju ke taman kahyangan tempat anak-anak dewa biasa bermain. Beliau
melihat ketiga teman baik putrinya sedang duduk di ayunan di pojok taman.
Beliau menghampiri ketiganya. Ketiga dewa itu terkejut melihat Dewa Angin telah
berdiri di hadapan mereka. Dewa Angin memaksa mereka memberi tahu penyebab
putrinya murung. Karena takut, Dewa Barma akhirnya menceritakan semua kejadian
di rumah Anika.
Mendengar
cerita dari Dewa Barma, Dewa Angin sangat marah. Dewa Angin segera turun ke bumi
mengendarai awan hitam yang bergerak dengan cepat. Dewa Angin yang menguasai
angin Di bumi dan kahyangan segera menggerakkan angin berputar seperti spiral
dan kelamaan semakin cepat. Setelah angin menjadi besar, beliau menggerakkan
angin itu menuju ke desa tempat tinggal Anika. Penduduk desa sangat ketakutan
melihat angin itu. namun, kemarahan dewa angin telah sampai puncaknya. Ia
gerakkan angin hingga memporakporandakan seluruh desa. Setelah desa tersebut
hancur, angin itu pun ikut menghilang. Sedangkan Dewa Angin segera kembali ke
kahyangan. Sejak saat itu, angin itu dikenal dengan angin puting beliung. Dan
sejak saat itu pula, dewa-dewa tidak pernah lagi turun ke bumi. Mereka hidup
sendiri-sendiri di dunia mereka.
=
The End =
Konsep IPA:
Angin
puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba dan bertekanan
tinggi, mempunyai pusat, bergerak secara melingkar seperti spiral hingga
menyentuh permukaan bumi dan menghilang dalam waktu yang singkat. Angin ini
berasal dari awan comulusnimbus yang berwarna gelap dan menjulang tinggi.
Pesan Moral:
Jangan
suka membeda-bedakan teman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar